Malam
itu bukanlah malam biasa bagiku. Karena esok hari aku akan mengadakan
perjalanan ke kota Brisbane
bersama kawan kawanku. Entahlah, aku sendiri belum mengenal mereka
terlalu dalam. Yang aku tahu adalah aku bisa membaca karakter, mereka
adalah orang baik. Yang aku yakini semua orang terlahir dengan fitrah
“kesucian”. Malam itu juga terjadi beberapa permasalahan yang
menurutku bermula dari kesalahpahaman antar kawanku. Walaupun
akhirnya reda. Dan kami jadi juga melakukan perjalanan bersejarah,
menurutku….
Aku
adalah orang yang selalu menganggap semua yang baik itu baik. Dan
kejahatan tidak akan bisa masuk. Seperti prinsip yin-yang atau teori
papan catur. Yang kesemua membentuk pribadiku untuk selalu menjadi
penengah dalam masalah. Itulah mengapa aku merasa kehidupan ini
adalah lembar lain dalam kehidupan ini. Layaknya telapak tangan yang
menjadi satu kesatuan tapi berbeda warna. Putih-hitam. Atas-bawah.
Entahlah, aku terlalu banyak membaca ilmu itu. Semakin ku kaji,
semakin besar rasaku untuk menjadi GILA. Cukup….
Kali
ini aku akan menceritakan tentang perjalananku ke kota Brisbane…
Pukul
04.40
Aku
telah mempersiapkan segala keperluan dalam perjalanan. Walaupun aku
akui semua itu tidak untuk kawan-kawanku. Semua itu aku persiapkan
untuk bekal istriku tercinta didalam perjalanan. Walaupun akhirnya
kami juga berbagi namun tak banyak. Tak juga sedikit.
Pagi
buta aku sudah bangun dari tidurku yang panjang. Ngorok ataupun
tidak, tak pernah menjadi masalah. Semangatku membangunkanku. 03.00.
aku bangun dan membangunkan yang lain. Masalah antara kawanku Salwa
Rachel
dan Ram
Mark
telah mereda. Akupun memanaskan kuda besiku yang segera melaju ke
kawasan “New
City”.
Namun
sebelum itu, aku menjemput kawanku terlebih dahulu. Kawanku ini
tergolong makhluk aneh yang sangat misterius. Walaupun seperti itu
dia tetap kawanku. Namanya Michael
Brown.
Walaupun bergaya barat. Kawanku yang satu ini mempunyai darah
keturunan india. Umurnya jauh dibawahku. Tapi persahabatan takkan
pernah mengenal umur. Toh bersama mereka aku telihat lebih gagah dan
terlihat muda. Melaju sepanjang jalan dipagi hari, membuat badan
lumayan menggigil. Apalagi kota Melbourne
adalah kota yang berhawa dingin. Kota pelajar ini yang akan dijadikan
sebagai andalan mahasiswa dalam belajar.
Sampai
di kawasan gang “NAMUAK”
aku menghampiri istriku tercinta. Tyas
Yasirorie,
yang sebelumnya juga telah bersiap-siap. Tak menjadi masalah
mengendarai dengan tiga awak. Mereka berdua berpostur tipis. Dan aku
agak lebar sedikit.
Melaju
dengan hawa dingin tak lagi menjadi masalah karena kami bisa saling
merapat. Udara tak lagi sedingin tadi. Ketika aku dan mike melintasi
jalan. Aku adalah Achmed
Fath.
Putra dari seorang cendikiawan ternama dikotaku. Secara simbologi
namaku tertulis dengan ejaan A dan V. semacam simbol manson dan
lambang Israel. Orang boleh mengatakan hal itu. Tapi aku adalah aku
yang sebenarnya. “Tak
mungkin ada yang bisa memahami diri sendiri kalau bukan kita dan mata
kaki”.
Pukul
04.35. Train di New City ini tak akan pernah mau menunggu
keterlambatan. Gaya disiplin tinggi menjadi cirri khas kota
Melbourne.
Kami
disambut hangat oleh kawan yang telah menunggu lama. Sungguh, gaya
yang sangat amburadul itulah yang membuatku merasa ada sesuatu hal
yang lain dari diri pemuda ini. Sopan santunnya yang terkesan tak
sopan menjadi sarapan kami bertiga dipagi buta. Setelah mike dan rie
turun, aku langsung menjabat tangan ram.
“Not
in time, bro….” sapanya.
“Sorry
duke, we are not too late, yeah? Aku berbasa-basi
“Where
is Salwa? and Henny
Tussler
? not going with us? Tanyaku.
Rie
hanya memegang kantong yang berisi makanan kesukaannya. Istriku ini
adalah orang yang tak banyak bicara. Tapi banyak makannya. Tingkahnya
yang seperti anak-anak memaksaku untuk selalu membawanya turut serta
kemanapun aku pergi. Matanya yang bulat tetap menyala walau dipagi
buta. Begitulah kami menunggu salwa dan henny yang tak kunjung tiba.
“I
am not sure they join with us today” Ram berkata.
“But
this our appointment, right? What’s going on last night? Still
angry with you heah?? Aku mencoba bertanya keadaan semalam.
“I
will call them. Wait for a second…” Terlihat mike berbicara
ditelepon.
“Slow.
Not far again” dengan senyumnya yang terkesan hampa.
Kami
berempat hanya terdiam sewaktu bunyi train mulai memecahkan telinga.
04.34. train mulai berbunyi memaksa para penumpang yang ada diluar
agar segera naik.
“Not
enough time guys…Let’s go..”Ujarku cepat.
“But,
the others? We can wait hun… Akhirnya istriku berbicara. Wajahnya
agak gugup ketika melihat tak ada baying-bayang kedatangan mereka. Ia
cemas hanya kami berempat yang akan melakukan journey ini.
Rencana
perjalanan ini sebenarnya digagas oleh beberapa orang. Tujuannya
adalah kunjungan ke rumah Roy
Steve Elfoy.
Tunangan dari kawan kami Henny
Tussler.
Bersambung…