Jumat, 17 Februari 2012

Road To Brisbane

Malam itu bukanlah malam biasa bagiku. Karena esok hari aku akan mengadakan perjalanan ke kota Brisbane bersama kawan kawanku. Entahlah, aku sendiri belum mengenal mereka terlalu dalam. Yang aku tahu adalah aku bisa membaca karakter, mereka adalah orang baik. Yang aku yakini semua orang terlahir dengan fitrah “kesucian”. Malam itu juga terjadi beberapa permasalahan yang menurutku bermula dari kesalahpahaman antar kawanku. Walaupun akhirnya reda. Dan kami jadi juga melakukan perjalanan bersejarah, menurutku….
Aku adalah orang yang selalu menganggap semua yang baik itu baik. Dan kejahatan tidak akan bisa masuk. Seperti prinsip yin-yang atau teori papan catur. Yang kesemua membentuk pribadiku untuk selalu menjadi penengah dalam masalah. Itulah mengapa aku merasa kehidupan ini adalah lembar lain dalam kehidupan ini. Layaknya telapak tangan yang menjadi satu kesatuan tapi berbeda warna. Putih-hitam. Atas-bawah. Entahlah, aku terlalu banyak membaca ilmu itu. Semakin ku kaji, semakin besar rasaku untuk menjadi GILA. Cukup….
Kali ini aku akan menceritakan tentang perjalananku ke kota Brisbane
Pukul 04.40
Aku telah mempersiapkan segala keperluan dalam perjalanan. Walaupun aku akui semua itu tidak untuk kawan-kawanku. Semua itu aku persiapkan untuk bekal istriku tercinta didalam perjalanan. Walaupun akhirnya kami juga berbagi namun tak banyak. Tak juga sedikit.
Pagi buta aku sudah bangun dari tidurku yang panjang. Ngorok ataupun tidak, tak pernah menjadi masalah. Semangatku membangunkanku. 03.00. aku bangun dan membangunkan yang lain. Masalah antara kawanku Salwa Rachel dan Ram Mark telah mereda. Akupun memanaskan kuda besiku yang segera melaju ke kawasan “New City”.
Namun sebelum itu, aku menjemput kawanku terlebih dahulu. Kawanku ini tergolong makhluk aneh yang sangat misterius. Walaupun seperti itu dia tetap kawanku. Namanya Michael Brown. Walaupun bergaya barat. Kawanku yang satu ini mempunyai darah keturunan india. Umurnya jauh dibawahku. Tapi persahabatan takkan pernah mengenal umur. Toh bersama mereka aku telihat lebih gagah dan terlihat muda. Melaju sepanjang jalan dipagi hari, membuat badan lumayan menggigil. Apalagi kota Melbourne adalah kota yang berhawa dingin. Kota pelajar ini yang akan dijadikan sebagai andalan mahasiswa dalam belajar.
Sampai di kawasan gang “NAMUAK” aku menghampiri istriku tercinta. Tyas Yasirorie, yang sebelumnya juga telah bersiap-siap. Tak menjadi masalah mengendarai dengan tiga awak. Mereka berdua berpostur tipis. Dan aku agak lebar sedikit.
Melaju dengan hawa dingin tak lagi menjadi masalah karena kami bisa saling merapat. Udara tak lagi sedingin tadi. Ketika aku dan mike melintasi jalan. Aku adalah Achmed Fath. Putra dari seorang cendikiawan ternama dikotaku. Secara simbologi namaku tertulis dengan ejaan A dan V. semacam simbol manson dan lambang Israel. Orang boleh mengatakan hal itu. Tapi aku adalah aku yang sebenarnya. “Tak mungkin ada yang bisa memahami diri sendiri kalau bukan kita dan mata kaki”.
Pukul 04.35. Train di New City ini tak akan pernah mau menunggu keterlambatan. Gaya disiplin tinggi menjadi cirri khas kota Melbourne. Kami disambut hangat oleh kawan yang telah menunggu lama. Sungguh, gaya yang sangat amburadul itulah yang membuatku merasa ada sesuatu hal yang lain dari diri pemuda ini. Sopan santunnya yang terkesan tak sopan menjadi sarapan kami bertiga dipagi buta. Setelah mike dan rie turun, aku langsung menjabat tangan ram.
Not in time, bro….” sapanya.
Sorry duke, we are not too late, yeah? Aku berbasa-basi
Where is Salwa? and Henny Tussler ? not going with us? Tanyaku.
Rie hanya memegang kantong yang berisi makanan kesukaannya. Istriku ini adalah orang yang tak banyak bicara. Tapi banyak makannya. Tingkahnya yang seperti anak-anak memaksaku untuk selalu membawanya turut serta kemanapun aku pergi. Matanya yang bulat tetap menyala walau dipagi buta. Begitulah kami menunggu salwa dan henny yang tak kunjung tiba.
I am not sure they join with us today” Ram berkata.
But this our appointment, right? What’s going on last night? Still angry with you heah?? Aku mencoba bertanya keadaan semalam.
I will call them. Wait for a second…” Terlihat mike berbicara ditelepon.
Slow. Not far again” dengan senyumnya yang terkesan hampa.
Kami berempat hanya terdiam sewaktu bunyi train mulai memecahkan telinga. 04.34. train mulai berbunyi memaksa para penumpang yang ada diluar agar segera naik.
Not enough time guys…Let’s go..”Ujarku cepat.
But, the others? We can wait hun… Akhirnya istriku berbicara. Wajahnya agak gugup ketika melihat tak ada baying-bayang kedatangan mereka. Ia cemas hanya kami berempat yang akan melakukan journey ini.
Rencana perjalanan ini sebenarnya digagas oleh beberapa orang. Tujuannya adalah kunjungan ke rumah Roy Steve Elfoy. Tunangan dari kawan kami Henny Tussler.

Bersambung…